Iklan

Iklan

,

Iklan

BRIN Menawarkan 9 Kolaborasi Riset dengan Negara-negara ASEAN

Kartininews
Jun 24, 2025, 22:59 WIB Last Updated 2025-06-24T15:59:30Z

Jakarta Kartininews.com - Indonesia terus berupaya memperkuat riset dan teknologi inovasi dengan menawarkan sembilan platform kerja sama riset kepada negara-negara ASEAN. Hal ini disampaikan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko usai bertemu dengan para menteri bidang sains, teknologi, dan inovasi se-Asia Tenggara dalam rangkaian acara ASEAN Committee on Science, Technology, and Innovation (COSTI) ke-87 yang berlangsung di Jakarta, 16–20 Juni 2025.


“Kami tidak ingin hanya mengadakan acara saja. Jadi kami kan harus membawa sesuatu yang lebih punya dampak dalam jangka panjang dan bisa meningkatkan positioning Indonesia di kancah global, termasuk untuk membuka kesempatan bagi para peneliti kita untuk kolaborasi lebih luas lagi,” kata Handoko di Gedung BRIN B.J. Habibie, Jakarta, Jumat, 20 Juni 2025.

Handoko menjelaskan bahwa BRIN menawarkan sejumlah platform kerja sama riset yang dapat dijadikan landasan bagi negara-negara di kawasan ASEAN. “Ada sembilan platform yang saat ini memang sudah berjalan untuk dijadikan platform kolaborasi bagi negara-negara sahabat di lingkungan ASEAN,” tuturnya.

Selain dengan negara-negara ASEAN, kerja sama juga dijajaki dengan Jepang, Australia, Cina, Uni Eropa, dan Amerika Serikat untuk memperluas kolaborasi dan memperbanyak relasi. “Kemudian ada co-funding juga sehingga anggaran yang kita miliki, misal yang 1 rupiah, bisa jadi 2–3 rupiah lah. Dan di lain sisi bisa membuat posisi Indonesia lebih baik,” kata Handoko.

Sembilan platform kerja sama ini mencakup berbagai bidang, mulai dari ekskavasi arkeologi hingga teknologi antariksa dan nuklir. “Jadi sembilan itu yang pertama itu ekskavasi arkeologi bersejarah. Itu di Bumi Ayu. Kemudian ekspedisi biodiversitas darat, dan ekspedisi kelautan,” ucapnya.

Kerja sama juga dilakukan dalam bidang antariksa, khususnya terkait teknologi pengindraan jarak jauh guna melakukan pemantauan dan pengamatan wilayah. Selain itu, BRIN menawarkan kolaborasi riset terkait pengamatan langit selatan di Timau. “Langit selatan kan milik semua. Itu sangat menarik untuk negara-negara sahabat juga,” ujarnya.

Pada bidang teknologi nuklir, kerja sama difokuskan pada teknologi akselerator dan pengolahan limbah, termasuk revitalisasi berbagai fasilitas nuklir. “Lalu ada ‘Banana for Food’. Itu platform kolaborasi untuk men-develop, karena sumber genetic banana 80 persen ada di Indonesia. Jadi ini bekerja sama dengan Amerika sebenarnya ya. Jadi kalau di Amerika itu makanan utamanya tepung pisang, bukan pisang,” kata Handoko.

Selain itu, BRIN juga menawarkan kerja sama dalam bidang biologi struktur dan genomik. “Kemudian mengekstrak data-data molekuler dari semua flora, fauna, manusia dan sebagainya dan pemanfaatannya untuk riset medis dan sebagainya,” ujarnya.

Lebih jauh, Handoko juga menjelaskan bahwa BRIN selama ini aktif dalam riset terkait teknologi pertahanan dan keamanan, seperti pengembangan roket, drone, dan teknologi kunci lainnya. Namun, kerja sama semacam itu tidak masuk ke dalam ranah kerja sama antarnegara ASEAN secara eksplisit. Ia menekankan bahwa kawasan ASEAN memang tidak pernah membentuk aliansi pertahanan seperti NATO.

Handoko menyebut pengembangan teknologi pertahanan seperi drone di Indonesia lebih diaplikasikan untuk keperluan sipil, seperti pemetaan, pemotretan, pengamatan permukaan bumi, hingga melengkapi data dari satelit. Menurutnya, mengembangkan drone untuk keperluan seperti itu jauh lebih sulit dibandingkan membuat drone tempur untuk perang.

“Kalau untuk kawasan ASEAN secara prinsip bebas aktif dan tidak melakukan aliansi pertahanan keamanan, setidaknya sampai saat ini. Jadi kami juga tentu tidak bisa dan tidak boleh masuk ke area situ,” ujarnya. (red)

Iklan