Iklan

Iklan

,

Iklan

Muktamar NU ke-34 akan Dilaksanakan di Lampung 23-25 Desember 2021

16 Okt 2021, 14:22 WIB Last Updated 2021-10-16T07:24:07Z

Muktamar Nahdlatul Ulama ke-34 akan digelar di Lampung, 23-25 ​​Desember 2021. Salah satu agenda penting musyawarah tertinggi ormas NU ini adalah soal suksesi kepemimpinan.

Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Muktamar NU pada 25-26 September 2021 menyepakati penetapan pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Muktamar ke-34 NU dengan dua cara. Pemilihan Ketua Umum PBNU dilakukan dengan pemungutan suara satu orang satu suara (one person one vote), sedangkan untuk Rais Aam PBNU dilakukan dengan perwakilan (ahlul halli wal aqdi).

Setiap periode kepengurusan di PBNU meninggalkan jejak yang berbeda. Tapi yang jelas, jalannya sama. Jam'iyyah yang sama. Bahkan, mungkin jemaah yang sama. NU, reputasinya dalam (1) jaringan dan (2) masyarakat. Dalam terminologinya; disebut sanad dan jama'ah. Sanad adalah jaringan ulama dan jama'ah adalah masyarakat atau warga nu.

Baca lagi; PC IPNU IPPNU Jepara Launching Kelas Pra Nikah

Jadi, tanpa sanad, NU pasti akan kehilangan jati dirinya. Anda akan merasa ada sesuatu yang hilang. NU dibangun di atas mata rantai sanad yang diyakini tak terputus. Dari muassis hingga Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Jadi, setiap ibadah, nawaytunya adalah lillahi ta'ala dan sandarannya adalah sanad. Setiap langkah politik, negara atau publik, harus didasarkan pada rantai.

Sanad ini juga berkorelasi dengan perlunya persiapan kaderisasi. Dari Salaf Saleh, NU mengambil model kaderisasi untuk membangun kaderisasi yang berujung pada suksesi manuthun bil maslahah. Sesuatu yang banyak terjadi alias alami. Para sahabat mengambil model kepemimpinan Nabi, yang kemudian diikuti oleh Tabi'in – murid para sahabat. Para murid para Sahabat membangun jaringan sehingga lahirlah Atba 'Tabi'in.

Khidmah Kiyai

Hal yang sama juga terjadi di lingkungan NU. Regenerasi kepemimpinan berlangsung secara alami dan tradisional. Secara kasat mata, seperti tidak terkonsep. Sejarah terpilihnya H Hasan Gipo, Ketua Umum PBNU pertama, jauh dari persyaratan dan kualifikasi khusus. Dia adalah seorang saudagar kaya. Dekat dengan KH Wahab Hasbullah; salah satu pendiri NU. Mahir dalam mengelola organisasi. Uniknya, ia adalah abdi kiai.

Inilah yang terjadi pada penerusnya, yaitu KH Idham Chalid, KH Abdurrahman Wahid, KH A Hasyim Muzadi dan KH Said Aqil Siradj. Semua orang duduk di kursi Ketua Umum atas dasar suka, tidak ada unsur tidak suka. Hal ini disukai oleh para kiai, khususnya majelis syuriyah dan para kiai sepuh. Seperti di sini berarti berkah. Ridho kiai adalah modal utama. Mengapa mereka mendapat persetujuan? Karena keikhlasan khidmah yang panjang kepada para ulama.

Nama-nama seperti Said Agil Husin Al Munawar, As'ad Said Ali, Masdar Farid Mas'udi, Nasaruddin Umar, Said Aqil Siradj, adalah contoh abdi kiai. Kebiasaan, semangat dan kesungguhan dalam melayani, dibangunkan sejak kecil, mulai dari keluarga, cabang hingga pengurus pusat. Hal ini biasa dialami oleh seluruh nahdliyin – warga NU. Jejaring santri dengan kiai di pelosok desa merupakan entitas kecil NU di bawah. Ikatan Cinta di akhirat.

Itu sebabnya ada pepatah, NU adalah organisasi keagamaan dan sosial. Ini masalah agama dan masyarakat. Masyarakat adalah urusan akhirat. Jadi hubungan batin antara kiai, ulama, habaib, dan umatnya di NU, berlangsung di akhirat. Jika pasangan berjanji untuk hidup selama mungkin, maka hubungan antara ulama dan ummat tidak akan terputus oleh kematian. Lihat, bagaimana tahlilan, manaqiban, barzanjian, diba'an, yasinan, istighotsah, sholawatan, maulidan, selalu ramai. Itulah tempat pertemuan dua alam, dunia dan barzakh.

Lahir tahun 1950-an

Karena kepentingan dua ranah tersebut, NU insya Allah akan selalu eksis hingga akhir zaman. Paling tidak, nilai dan ajarannya akan terus dijaga dan dipertahankan, melalui jaringan umat, terutama kader. Di tangan kader, regenerasi dijamin tetap terjaga. Dalam setiap periodenya, NU selalu menyediakan kader dalam jumlah yang melimpah. Lihat! Saat Gus Dur lengser, pihak luar NU mengkhawatirkan penggantinya.

Namun ternyata, satu lapisan di bawah Gus Dur, muncul nama-nama yang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. KH A Hasyim Muzadi, misalnya. Di era Gus Dur dan Kiai Hasyim Muzadi banyak muncul nama sekaliber ini. Yakni Achmad Bagdja (DPA), M Rozy Munir (Menneg BUMN), Muhyiddin Arubusman (DPR). Nama lainnya adalah Ichwan Syam, Abduh Paddare, Anwar Nuris, Tosari Widjaja, Fahmi D Saifuddin, Cecep Syarifuddin, Manarul Hidayat, A Wahid Zaini, Mustofa Zuhad Mughni, Fajrul Falaakh, Endang Turmudi, Malik Madany, dan lainnya.

Mereka sudah pensiun dan sebagian besar sudah meninggal. Bahkan, lapisan berikutnya, generasi saat ini, memiliki keterbatasan gerak karena usia. Beberapa kader merangkap Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj, tidak lagi terlibat secara struktural. Ada yang berada di posisi A'wan, namun sebagian besar sudah berbaur dengan masyarakat atau kembali ke dunia pesantren.

Berikut nama-nama kader kelahiran 1950-an, antara lain As'ad Said Ali (19 Desember 1949), Said Aqil Siradj (3 Juli 1953), Masdar Farid Mas'udi (1954), M Maksum Machfoed (23 Juni 1954) , Ali Maschan Moesa (1 Januari 1956), Andi Muawiyah Ramly (10 Oktober 1957), Mohammad Mahfud MD (13 Mei 1957), Masykuri Abdillah (22 Desember 1958), Mohammad Nuh (17 Juni 1959), Mutawakkil 'Alallah (22 April 1959), Nasaruddin Umar (23 Juni 1959), dan Mohammad Fajrul Falaakh (2 April 1959).

Baca juga; PITI Jepara Berqurban Sapi di Desa Kaligarang Keling Jepara

Lahir di tahun 1960-an (Generasi yang Hilang?)

Generasi Kiai Said Aqil Siradj sudah di penghujung senja. Kemudi lokomotif selanjutnya akan dipegang oleh generasi NU kelahiran 1960-an. Gerbong ini memuat puluhan kader potensial, bahkan mungkin ratusan, hingga ke tingkat daerah dan cabang. Mereka ditempa, dipersiapkan dan akan menerima panggilan sejarah untuk memimpin nahdliyin satu dekade ke depan. Mereka adalah hasil kaderisasi PBNU pimpinan KH Hasyim Muzadi dan PBNU pimpinan KH Said Aqil Siradj.

Andi Jamaro Dulung (12 Desember 1960), Endin AJ Sufihara (17 November 1960), Akhmad Muqowam (1 Desember 1960), Saifullah Ma'shum (25 November 1960), Lukman Hakim Saifuddin (25 November 1962), Ali Masykur Musa (12 September 1962), Imam Aziz (29 Maret 1962), Abdul Halim Iskandar (14 Juli 1962), Achmad Effendy Choirie (17 Juni 1963), Marsudi Syhud (7 Februari 1964), dan Saifullah Yusuf (28 Agustus 1964).

Kemudian Arvin Hakim Thoha (25 Oktober 1964), An'im Falahuddin Mahrus (06 Juni 1964), Yahya Cholil Staquf (16 Februari 1966), Marzuqi Mustamar (22 September 1966), Amin Said Husni (19 Agustus 1966), Muhaimin Iskandar ( 24 September 1966), Khatibul Umam Wiran (10 Februari 1966), Ulil Abshar-Abdalla (11 Januari 1967), dan Andi Najmi Fuadi (21 September 1968).

Gerbong yang lahir tahun 1960-an ini sangat panjang. Bagi mereka yang lahir pada tahun 1960 ke atas, pada kongres ke-35, mereka akan menjadi "kepala 6". Sudah terlalu tua untuk bisa maksimal mengarahkan roda organisasi. Jangan berharap mereka bisa bermanuver untuk menyelamatkan jama'ah, buat saja jam'iyah kompetitif, itu tidak mudah. Berdasarkan data tersebut, kepemimpinan NU untuk lima tahun ke depan harus berada di tangan kader kelahiran 1960 ke bawah, yaitu 1965 hingga 1969.

Jika kesempatan ini berlalu, itu juga akan melewati kepemimpinan "generasi" dari kereta panjang ini. Mereka akan diklasifikasikan sebagai generasi yang hilang. Hal ini bisa terjadi, jika generasi di atasnya tidak mau melepaskan kesempatan dan atau karena tekanan dari kalangan dalam tertentu, sehingga mereka merasa masih layak untuk menaklukan milenium ketiga. Sebab, setelah satu kongres ke depan, lapisan generasi terbaru sudah siap bertemu.

NU Satu Abad

Mereka masih mahasiswa ketika KH Said Aqil Siradj memimpin PBNU. Mereka adalah komunitas pemuda NU yang sudah dewasa ketika era milenial datang. Mereka akrab dengan perangkat. Mereka sangat memahami ilmu bilangan, statistika, diagram, dan ilmu kelengkapan lainnya. Sejumlah nama bahkan sudah menjajal dan berhasil menjadi kepala daerah. Ukuran keberhasilan mereka tidak hanya dalam lingkup badan otonom NU, tetapi juga lintas sektor.

Ambil contoh Abdullah Azwar Anas. Mantan Ketua IPNU. Di sejumlah daerah, tak sedikit pemuda NU yang berkiprah di bidang politik, kenegaraan, dan sosial. NU One Century akan berada di tangan mereka. Sudah ada beberapa nama, antara lain: Irsyad Yusuf (10 November 1970), Jazilul Fawaid (5 Desember 1971), Marwan Jafar (12 Maret 1971), dan Ahmad Fahrur Rozi (30 November 1971).

Kemudian Helmy Faishal Zaini (1 Agustus 1972), Muhammad Hanif Dhakiri (6 Juni 1972), Maman Imanul Haq (8 Desember 1972), Abdul Malik Haramain (3 Mei 1972), Juri Ardiantoro (6 April 1974), dan Abdul Ghafur Maemun ( 16 Maret 1973).

Abdullah Azwar Anas (6 Agustus 1973), Nusron Wahid (12 Oktober 1973), Nadirsyah Hosen (8 Desember 1973), Muhammad Yusuf Chudlori (9 Juli 1973), Abdul Kadir Karding (25 Maret 1973), M Romahurmuziy (10 September 1974) , Yaqut Cholil Qoumas (4 Januari 1975), Asrorun Ni'am Sholeh (31 Mei 1976), dan Abdul Ghofarrozin (31 Juli 1976).

Kader kelahiran 1970, sudah mulai mengintip. Yang paling cerdas adalah putra dari Mbah Kiai Maemun Zubaer, yaitu Gus Taj Yasin Maimoen yang lahir pada 2 Juli 1983. Saat ini menjabat sebagai wakil gubernur Jawa Tengah.

Demi suksesnya acara, kemantapan kader dan generasi, sebaiknya generasi kelahiran 1960-an menyatukan sikap. Sadar sepenuhnya akan panggilan sejarah dan tanggung jawab generasi, demi mempersiapkan landasan generasi penerus menuju Satu Abad Nahdlatul Ulama.

Iklan